Angka kematian kasus infeksi Tuberkulosis cukup tinggi. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dari 1.060.000 kasus TB ditemukan 134.000 kasus kematian. Penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah Kesehatan di Indonesia dan dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks baik dari segi medis maupun sosial, ekonomi dan budaya.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan penanggulangan Tuberkulosis melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2021. Peraturan Presiden tersebut mengatur dan menetapkan segala upaya penanggulangan Tuberkulosis yang komprehensif, terpadu dan berkesinambungan mulai dari upaya edukasi masyarakat, upaya penemuan kasus di fasilitas pelayanan Kesehatan, upaya deteksi bakteri melalui serangkaian alur pemeriksaan laboratorium, upaya pengobatan pasien TBC serta upaya pengendalian kasus TBC.
Upaya penemuan kasus TBC dapat dilakukan di berbagai fasilitas layanan Kesehatan, mulai dari Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah/Swasta, Klinik swasta serta Dokter Praktik Mandiri. Pasien yang memiliki gejala seperti batuk lebih dari 2 minggu, dapat disertai atau tidak disertai demam, berat badan menurun, atau keluarnya keringat di malam hari tanpa aktifitas berlebih, akan dikategorikan sebagai pasien terduga TB dan akan mendapatkan pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosanya.
Alur Tata Laksana Penegakan Diagnosa dan Pengobatan Penyakit Tuberkulosis
Penegakan diagnosa dan pengobatan penyakit Tuberkulosis sangat bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Saat ini, Kementerian Kesehatan telah menetapkan laboratorium-laboratorium yang masuk dalam jejaring laboratorium rujukan pemeriksaan Tuberkulosis. Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat (BB Labkesmas) Makassar merupakan salah satu laboratorium rujukan regional untuk berbagai jenis pemeriksaan Tuberkulosis mulai dari pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM TB), pemeriksaan kultur dan uji kepekaan antibiotik TB serta pemeriksaan sekuensing TB. BB Labkesmas Makassar menjadi laboratorium rujukan pemeriksaan TB untuk wilayah timur Indonesia, khususnya wilayah Sulawesi.
Screening kasus TBC pada pasien terduga TB dilakukan menggunakan pemeriksaan TCM TB. Saat ini Kementerian Kesehatan menggunakan 2 (dua) jenis alat TCM yang digunakan untuk deteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis serta mengidentifikasi gambaran resistensi terhadap antibiotik utama yang digunakan dalam pengobatan TBC untuk penegakan diagnosa TB sensitif obat (TB SO) atau TB resisten obat (TB RO) atau multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). Alat TCM tersebut adalah GeneXpert dan BD Max, dimana penggunaan alat tersebut mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO).
Penggunaan alat TCM BD Max baru mulai dilaksanakan di Indonesia pada bulan Februari tahun 2024 dan hanya dapat digunakan di 17 laboratorium di Indonesia, salah satunya adalah BB Labkesmas Makassar. Berbeda dengan alat TCM GeneXpert, alat TCM BD Max dapat memberikan informasi resistensi bakteri terhadap antibiotik Rifampicin dan Isoniazid (INH) secara bersamaan. Antibiotik Rifampicin dan Isoniazid (INH) adalah salah satu obat utama yang digunakan dalam pengobatan TBC aktif dan infeksi laten TBC karena memiliki kemampuan tinggi membunuh bakteri (bakterisidal) dan memiliki tingkat keamanan obat yang baik. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap kedua antibiotic tersebut digolongkan sebagai multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB).
BB Labkesmas Makassar telah melakukan pemeriksaan TCM BD Max pada 1262 spesimen dahak di periode Februari-Juni 2024. Interpretasi hasil pemeriksaannya terlampir pada tabel di bawah ini.
INTERPRETASI HASIL | JUMLAH | PERSENTASE |
---|---|---|
Total | 1262 | 100% |
Tidak terdeteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) | 1006 | 79,71% |
Terdeteksi M.tb sensitif Rifampicin dan INH (TB SO) | 155 | 12,28% |
Terdeteksi M.tb (low detection) | 75 | 5,95% |
Terdeteksi M.tb resisten Rifampicin dan INH (MDR TB) | 8 | 0,63% |
Terdeteksi M.tb monoresisten Rifampicin | 3 | 0,24% |
Terdeteksi M.tb monoresisten INH | 15 | 1,19% |
Grafik perbandingan jumlah hasil pemeriksaan TCM BD Max berdasarkan hasil interpretasi
Data tersebut menunjukkan bahwa variasi resistensi antibiotik secara genotipik pada bakteri Mycobacterium tuberculosis cukup banyak, salah satunya adalah ditemukannya hasil monoresisten INH TB atau bakteri Mycobacterium tuberculosis yang resisten hanya pada antibiotik INH. Selain antibiotik Rifampisin, antibiotik INH merupakan obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama yang utama karena kemampuan membunuh bakteri (bakterisidal), sehingga jika terjadi resistensi terhadap antibiotik INH maka efikasi pengobatan dapat menurun atau angka keberhasilan pengobatan menurun. Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan pada upaya pengendalian transmisi penyakit tuberkulosis.
Monoresisten INH TB tidak dapat diketahui secara langsung jika menggunakan alat TCM yang hanya mendeteksi resistensi M.tb terhadap antibiotik rifampisin. Oleh karena itu, jika pemeriksaan TCM TB dilakukan menggunakan alat TCM yang hanya mendeteksi resistensi terhadap antibiotik rifampisin, maka dokter ahli klinis di fasilitas layanan Kesehatan wajib untuk melakukan anamnesa lebih teliti terkait kemungkinan adanya faktor risiko yang dapat menyebabkan monoresisten INH atau dokter ahli klinis dan pengelola TB di fasilitas layanan Kesehatan wajib untuk memantau keberhasilan pengobatan melalui pelaksanaan pemeriksaan mikroskopik follow up secara rutin pada bulan ke 2, 5 dan 6 pasca pengobatan. Hal tersebut dapat memantau kemungkinan adanya kegagalan pengobatan jika resistensi terhadap antibiotik INH tidak terdeteksi pada tahap screening awal.